Seandainya predikat Kota Tua di Kabupaten Lamongan harus ada, mungkin Kecamatan Babat yang paling pantas untuk menyandangnya. Di balik hiruk-pikuknya sebagai pusat perdagangan Lamongan, wilayah yang dijuluki sebagai Kota Wingko ini menyimpan banyak cerita masa lampau yang dapat dilihat dari beberapa bangunan tuanya, seperti bangunan CTN, gedung Garuda, stasiun Babat, dan rumah-rumah panggung.
Dengan melihat sekilas saja, kita akan tahu bangunan CTN yang terletak di Jalan Raya Babat ini merupakan bangunan yang sudah sangat tua. Dekorasi-dekorasi serta desain kuno terlihat mencolok dari setiap sisi bangunan tersebut.
Tidak ada yang tahu persis kapan bangunan yang merupakan Corps Tjadangan Nasional ini di bangun. Namun mungkin, bangunan yang dulu menjadi tempat asrama tentara ini sudah ada sekitar seabad yang lalu, di zaman Belanda.
Jangan
membayangkan bangunan ini besar dan terawat seperti bangunan Lawang
Sewu di Semarang, misalnya. Di balik kesamaannya menyimpan banyak cerita
mistik, bangunan CTN mempunyai luas jauh lebih sempit yang terbagi
menjadi dua area dengan pembatas pagar bambu, yakni area utara dan
selatan.
Di area utara, saat ini digunakan sebagai tempat tinggal bagi petugas
Koramil yang ditugaskan mengawasi bangunan ini. Selain bangunan tempat
tinggal ini, sedikit ke belakang terdapat sebuah gudang yang beberapa
bagian atap dan temboknya sudah mulai runtuh.Menilik ke area selatan, terdapat bangunan yang lebih besar dengan pekarangan yang cukup luas. Sayangnya sejak sekitar tahun 1993, terakhir kali bangunan ini dijadikan sebagai asrama Koramil, bangunan serta pekarangannya tidak lagi terawat. Pekarangan yang dulu bersih, sekarang dipenuhi rumput-rumput liar. Sedang bangunannya sendiri kotor, banyak kotoran ayam di lantai, dan bagian tertentu sudah terlihat mulai runtuh.
Jika
Anda mencoba mendekat pada bangunan tersebut, dua patung singa di kanan
dan kiri sudah menyambut Anda. Motif dinding dan patung tentara Belanda
yang terletak di bagian atas bangunan jelas menunjukkan identitas yang
membangun sebelum direbut oleh tentara Jepang dan akhirnya jatuh ke
tangan tentara Indonesia.
Sayangnya tiga pintu depan bangunan ini dikunci. Jadi Anda yang
penasaran dan berharap bisa masuk ke dalam nampaknya harus gigit jari.
Sebagai pengobat kecewa, Anda bisa berfoto di depan bangunan ini.
Bangunan tua di zaman modern sangat cocok dijadikan sebagai latar
belakang foto Anda.Konon, gudang di area utara dan bangunan area selatan ini terkenal mistik. Beberapa orang mengaku pernah menejumpai makhluk menyerupai wanita, berjubah putih, berambut putih, dan bermata satu berkeliling di sana. Hmm, jika benar ada, mungkinkah ia arwah Noni Belanda seperti Noni Van Elen, hantu dalam film horor Lawang Sewu?
Sebagai kota kecamatan yang menjadi titik temu empat kabupaten, yakni Lamongan, Bojonegoro, Jombang, dan Tuban, wajar saja bila Kecamatan Babat merupakan kecamatan yang ramai, bukan hanya sekarang namun juga di masa lalu. Dari itu juga jangan heran jika dahulu terdapat sebuah gedung pertunjukan bioskop di kota ini.
Gedung Garuda namanya, terletak hanya 20 meter sebelah utara depan bangunan CTN, gedung ini pun tak kalah tua. Tahun 1986, gedung yang memiliki luas sekitar 500 meter persegi tersebut terakhir kali difungsikan sebagai bioskop. Sayang memang, akibat tidak memiliki peminat lagi bangunan yang bagian bawahnya bercat biru dan telah kusam ini harus kehilangan cerita masa lalunya.
Nampaknya patung garuda besar yang tak kalah kusam dan menempel di dinding bagian atas gedung tersebut tidak lagi menarik perhatian masyakat sekitar untuk datang dan menonton film di sana.
Saat ini, di dalam gedung Garuda sudah tidak terlihat lagi sisa-sisa kemegahan sebagai satu-satunya gedung bioskop di Kota Babat dahulu. Di bagian depan hanya ada sebuah warung kopi. Sedangkan di dalam yang ada hanya dua arena bulu tangkis dan belasan kursi penonton, sisanya hanya tempat kosong yang lengang. Memang, sejak tidak menjadi gedung pertunjukan bioskop, gedung ini dialihfungsikan sebagai arena bulu tangkis, daripada nganggur.
Beranjak
sedikit jauh ke arah tenggara, kita bisa menemui stasiun kereta api
Babat. Tentu stasiun ini sudah tidak asing lagi bagi Anda masyarakat
Lamongan yang gemar berpergian menggunakan alat transportasi berbadan
panjang ini.
Stasiun Babat memiliki enam jalur rel yang masih aktif digunakan saat
ini. Namun, jika Anda mencoba menyusuri daerah sekitar stasiun, Anda
akan mendapati banyak jalur rel lainnya yang sudah tidak lagi digunakan.
Di zaman belanda, jalur-jalur ini digunakan untuk mengangkut hasil
bumi. Maklum, di masa itu, alat transportasi jarak jauh yang mudah
diakses hanyalah kereta api.Jika diamati, konstruksi di bagian dalam maupun bagian luar stasiun tidak terlihat ada sisa-sisa bangunan tua, berbeda dengan bangunan CTN dan gedung Garuda, stasiun ini terlihat jauh lebih modern. Apalagi sejak tahun 2002, saat stasiun yang masih menggunakan sistem persinyalan mekanik ini mulai ditangani oleh pemerintah daerah, pemugaran terus dilakukan. Namun, karena hal ini juga, stasiun Babat yang dulu termasuk stasiun kelas A, kini harus turun tingkat menjadi kelas B.
Saat
ini stasiun terbesar di Kabupaten Lamongan ini merupakan tempat
pemberhentian untuk kereta Kertajaya, KRD Bojonegoro, KRD Babat,
Gumarang, dan KRDI AC.
Oh iya, jika Anda datang ke stasiun Babat lewat pertigaan sebelah
tenggara pasar Babat, jangan lupakan juga keberadaan rumah panggung di
kanan jalan sebelum sampai di stasiun. Unik memang, saat rumah-rumah
masa kini menamankan pondasi beton yang kuat dan dalam, serta tembok
bata yang megah, rumah panggung yang seluruhnya berjumlah empat ini
masih tetap bertahan.Keberadaan rumah-rumah panggung yang dibangun pada tahun 1918 ini tidak lepas dari keberadaan stasiun Babat. Rumah-rumah panggung ini merupakan rumah dinas bagi pegawai yang bekerja di stasiun. Sebenarnya ada 15 rumah dinas di kompleks ini, namun yang berupa rumah panggung hanya ada empat.
Konstruksi
bangunannya: lantai, dinding, pintu, jendela, serta tiang, murni dari
kayu jati. Karena tekstur kayu jati yang keras dan kuat, wajar jika
rumah ini bisa bertahan hampir seratus tahun. Setiap satu rumah panggung
ukurannya sekitar 15×10 meter persegi dengan tinggi 5 meter yang
terbagi dalam beberapa petak di dalam rumah.
Untuk mempertahankan kekunoannya, konstruksi rumah panggung ini
harus tetap asli. “Tidak boleh dirubah, paling hanya boleh dicat saja,”
ujar Pak Sujud, penghuni salah satu rumah panggung.Kemudahan transportasi di Babat saat ini membuat banyak pegawai stasiun memilih untuk pulang-pergi daripada tinggal di rumah dinas. “Makanya hanya 3 rumah saja (dari 15) yang dipakai dinas. Sisanya ditempati pensiunan,” tambah Pak Sujud yang sebelum pensiun sempat menjadi kepala stasiun pada tahun 1993.
Keempat rumah panggung ini berbentuk sama, persegi empat beratap genting tanah dan memiliki tinggi antara lantai dan tanah sekitar satu meter. Pekarangan untuk rumah-rumah panggung juga lebih luas di bandingkan dengan rumah dinas lainnya. Beberapa pohon yang ditanam di pekarangan juga membuat kesan asri dan kuno masih tetap melekat.
Seperti halnya bangunan CTN, keberadaan gedung Garuda, stasiun Babat, dan rumah-rumah panggung sebagai bangunan-bangunan tua juga tidak lepas dari cerita mistik. Benar atau tidaknya saya juga tak tahu pasti. Jika ada dua golongan untuk menyebut orang yang bisa dan tidak bisa melihat hal-hal mistik, mungkin saya termasuk dalam golongan kedua. Bagaimana dengan Anda? Jika Anda termasuk dalam golongan pertama, tertarik untuk membuktikannya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar