Di tahun 1948 Agresi Militer Belanda II berlangsung. Kejadian ini
dilatarbelakangi oleh keinginan Belanda untuk tetap menguasai Indonesia
dengan tidak mengakui perjanjian Renville. Kita tahu, Yogyakarta –
sebagai ibukota saat itu – menjadi kota yang paling gencar diserbu pihak
Belanda. Sebagai contoh, saat pasukan Belanda menyerang pangkalan udara
Maguwoharjo (lapangan udara Adisucipto). Dalam peristiwa tersebut
tercatat 128 tentara Indonesia terenggut nyawanya
. Tak hanya Yogyakarta, banyak daerah lain yang juga meninggalkan duka, salah satunya Lamongan.
Lamongan merupakan bagian wilayah pertempuran Brigade Ronggolawe
daerah Operasi Timur (DOT) yang dipimpin oleh kapten Soekarsono selaku
Komandan Komando Distrik Militer (KDM). Dari sanalah, 28 Maret 1949
malam, terjadi serangan umum ke Kota Lamongan yang melibatkan pasukan
Tamtomo. Salah satunya pasukan yang dipimpin oleh Kadet Soewoko yang
setelah serangan tersebut ditugaskan di daerah Laren.. Tak hanya Yogyakarta, banyak daerah lain yang juga meninggalkan duka, salah satunya Lamongan.
Kadet Soewoko memang tak sepopuler Bung Tomo yang merupakan pahlawan Surabaya. Namun keberaniannya dalam melawan pasukan Belanda cukup membuat banyak orang, khususnya masyarakat Lamongan terinspirasi.
Kadet
Soewoko bukan asli Lamongan. Ia lahir di Desa Lumbangsari, Krebet,
Malang tahun 1928. Ia juga lulus dari sekolah kadet – calon perwira – di
kota tersebut.
Tanggal 4 Maret 1949, Kadet Soewoko dan pasukannya tiba di Desa
Laren. Setelah lima hari di sana, saat beristirahat di sebuah langgar
(surau), mereka mendengar berita dari para penduduk bahwa ada sebuah
truk power wagon yang dikendarai oleh tujuh serdadu Belanda
terperosok ke dalam parit di jalan dekat Desa Parengan. Desa ini dulu
berada di wilayah Kecamatan Sekaran, namun sekarang sudah masuk dalam
wilayah Kecamatan Maduran.Mendengar berita tersebut, Kadet Soewoko berserta pasukannya bersiap untuk melakukan serangan. Sayangnya, mereka yang berjumlah delapan orang harus ditinggal satu. Dan yang ditinggal saat itu adalah Soemarto. Bukan karena apa-apa, ia ditinggal lantaran persediaan senjata saat itu hanya tujuh buah.
Menjelang siang hari itu, Segera pasukan Kadet Soewoko bergegas mendekati parit tempat truk serdadu Belanda terperosok. Karena Desa Parengan dan Desa Laren dipisahkan oleh Bengawan Solo, mereka harus menaiki perahu.
Saat ini, jika Anda sedang berada di Desa Laren dan menuju ke Desa Parengan atau sebaliknya, tentu tidak harus menaiki perahu lagi. Karena sudah ada sebuah jembatan penyeberangan untuk menghubungkan dua desa tersebut.
Dari jarak jauh sebenarnya serdadu Belanda sudah terlihat. Namun untuk mendapatkan jarak tembak yang ideal, mereka sepakat untuk lebih mendekat dan berencana akan menyerang dengan tembakan salvo.
Saat sudah cukup dekat, kira-kira 100 m, Kadet Soewoko dan pasukannya yang berlindung di gundukan tanah bersiap melaksanakan rencana mereka. Namun celakannya, saat itu telah datang truk power wagon serdadu Belanda lain yang akan membantu menarik truk yang terperosok tadi. Maklum, tujuh serdadu Belanda dan beberapa penduduk setempat yang dipaksa untuk menarik truk tidak mampu menarik keluar dari parit. Saat itu bukan tujuh lagi serdadu Belanda yang harus dihadapi oleh pasukan Kadet Soewoko, melainkan berjumlah tiga puluh tujuh orang.
Meski begitu, pasukan Kadet Soewoko tidak berinisiatif untuk mundur. Mereka masih menunggu saat truk yang terperosok ditarik oleh truk lainnya. Dan “Tembak!” Kata yang terlontar dari mulut Kadet Soewoko sebagai aba-aba pasukannya untuk menyerang.
Serdadu Belanda tidak sedikit yang terjungkal terterkena tembakan. Awalnya mereka yang terkejut hanya bisa diam. Namun karena kesigapannya, tak lama setelah itu serdadu Belanda berbalik menyerang. Bahkan mereka berhasil mengepung pasukan Kadet Soewoko dari samping dan belakang.
Hari
sudah mulai gelap, jarak sekitar 10 meter ke depan saja sudah tidak
terlihat. Karena sudah terdesak dan merasa mundur pun sia-sia, Kadet
Soewoko menginstruksikan pasukannya untuk menerobos dan berlari menembus
pasukan Belanda. “Terobos, dan lari menuju Desa Gumantuk,” begitu
instruksi yang diberikan Kadet Soewoko.
Dua dari mereka berhasil lolos, satu berpura-pura mati, sedangkan
Kadet Soewoko sendiri harus terkapar setelah kedua lengannya tertembus
peluru serdadu Belanda. Beberapa serdadu mendekatinya dan menanyakan
namanya. Anehnya, tidak tahu apa yang ada di pikiran Kadet Soewoko, dia
menjawab “Soewignyo.” Soewignyo sendiri sebenarnya nama dari kepala staf
KDM.Tentara Belanda ingin membawa Kadet Soewoko ke markas mereka di Sukodadi. Sokodadi merupakan nama sebuah desa/kecamatan yang terletak di sebelah barat Kota Lamongan. Namun Kadet Soewoko menolak, “Tidak. Saya tidak mau menyerah. Bunuh saya,” begitulah ucapan Kadet Soewoko yang masih diingat oleh Soeyono, prajurit yang berpura-pura mati.
Kadet Soewoko akhirnya ditusuk sangkur di bagaian dada kiri, dan ditembak di pipinya. Ia pun harus gugur bersama tiga prajurit lain.
Kita
mungkin sepakat, apa yang dilakukan oleh Kadet Soewoko merupakan sebuah
perjuangan yang perlu diabadikan. Untuk itu di Desa Gumantuk, di tempat
bersemayamnya jasad Kadet Soewoko dan tiga prajuritnya: Soekaeri,
Widodo, dan Lasiban, dibangun sebuah tugu sebagai bentuk berdukanya
masyarakat Lamongan. Karena dianggap mati syahid, mereka dikubur dengan
pakaian yang mereka pakai, tanpa dimandikan. Tugu ini terletak di
perempatan kecil yang menghubungkan Desa Gumantuk dan Desa Kanugrahan
dari arah utara dan selatan. Tugu yang terletak sekitar 0,5 km sebelah
timur perempatan Desa Dempel, dan 10 km sebelah barat pertigaan Desa
Sumberwudi ini berbentuk persegi yang memiliki tinggi kurang lebih 3
meter dan dikelilingi rumput liar.
Di Kota Lamongan, Anda juga bisa melihat patung Kadet Soewoko. Patung
setinggi 4 m bercat abu-abu ini memperlihatkan Kadet Soewoko berdiri
gagah dengan memegang senjata api. Anda dapat kapan saja datang dan
melihat patung ini, karena patung yang terletak di jalan raya Lamongan –
Surabaya ini, dapat dilihat dari jalan raya. letaknya sekitar 500 meter
dari pertigaan bunderan Lamongan, di sebelah timur jalan. Tepat di
sebelah barat patung ini juga ada sebuah jalan kecil bernama Jalan Kadet
Soewoko.Bagi Anda pengemar sepakbola Indonesia, khususnya suporter Persela Lamongan, tentu tidak asing dengan logo bergambar orang memakai blangkon sembari menunjukkan jarinya ke atas. Juga bagi suporter tim Persebaya Surabaya, pasti tahu logo orang dengan ekspresi garang yang menggunakan ikat kepala berwarna hijau. Gambar kedua orang itu terinspirasi dari Kadet Soewoko. Maka tidak berlebihan jika pahlawan lokal yang satu ini sangat menginspirasi.
Bukan itu saja, untuk tetap mengenang perjuangan Kadet yang meninggal di usia 21 tahun tersebut, Pemerintah Kota Lamongan mengadakan acara bertajuk “Napak Tilas Kadet Soewoko.” Acara yang mirip dengan gerak jalan ini diadakan setiap tahun sekali. Pesertanya berasal dari berbagai instansi. Jarak rutenya pun cukup jauh sekitar 25 km. Start dari lokasi tugu Kadet Soewoko dan finish di Makodim 0812 Lamongan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar